BERITA

RUU Pertembakauan, Tak Untungkan Petani, Ancam Generasi Emas

RUU Pertembakauan, Tak Untungkan Petani, Ancam Generasi Emas

KBR, Jakarta - Penolakan RUU Pertembakauan terus bergulir. Dalih bahwa RUU Pertembakauan bakal melindungi petani tembakau dinilai mengada-ada. RUU tersebut disebut lebih memihak industri rokok ketimbang petani ataupun masyarakat.

Wakil Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Hasan mengatakan, alasan melindungi petani tembakau itu kerap diangkat untuk menolak meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC). Dia menyodorkan Uruguay sebagai contoh untuk petani tembakau di Indonesia. 

"Uruguay meratifikasi FCTC, lalu konsumsi rokoknya menurun, produksi turun termasuk lahan, tetapi produksi daun tembakaunya meningkat," kata Abdillah dalam Seminar 'Rokok Ancam Generasi Emas 2045' di Griya Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, (2/3/2016).

Selain itu, produksi daun tembakau di Indonesia hanya terkonsentrasi di tiga provinsi yakni Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah. Ketiga provinsi tersebut mendominasi 90 persen produksi daun tembakau nasional. Karenanya, apabila pengendalian tembakau diterapkan, dampaknya tidak akan cukup besar. 

"Kalau pun pengendalian rokok berdampak ke pertanian tembakau, maka konsentrasi untuk membantu mereka di tiga provinsi tersebut," lanjutnya.

Ini juga didukung dengan fakta bahwa jumlah petani tembakau serta lahan menunjukkan tren menurun. Bahkan, selisih ekspor dan impor daun tembakau makin melebar dari tahun ke tahun, di mana nilai impor makin jauh meninggalkan nilai ekspor. 

"Data tahun 1990-2013, nilai ekspor melebihi nilai impor itu jarang sekali. Hanya di tahun 1991, 1998 masih positif, setelah itu, langsung kenaikan nilai impor jauh meninggalkan nilai ekspor, defisit perdagangan makin besar, 360 juta US dolar," tuturnya.

Abdillah mengajukan skema yang mampu melindungi dan menyejahterakan petani tanpa harus mengesahkan RUU Pertembakauan yang dinilai lebih memihak industri rokok. Kata dia, petani tembakau rentan dirugikan karena faktor alam maupun permainan harga. Karenanya, diperlukan komunikasi tripartit yang aktif dan setara antara petani, pemerintah dan industri rokok terkait penetapan harga. Selain itu, semestinya tiap tahun industri rokok dan pemerintah daerah juga bersinergi untuk menjaga produksi dan harga tembakau tetap stabil.  

"Misalnya industri rokok punya permintaan tahun 2016, misalnya 10 ton, jenisnya ini, tembakau rajangan ini, kualitas grade ini. Tetapi petaninya juga harus patuh. Di Jawa Tengah, ditentukan kuota sekian hektar, tapi petani nekat, sehingga harga jadi drop," kata dia. 

Rokok Ancam Generasi Emas

Penolakan RUU Pertembakauan juga nyaring disuarakan dari sisi perlindungan terhadap kesehatan masyarakat. 

Komnas Pengendalian Tembakau menyatakan perokok usia remaja menjadi sasaran empuk industri rokok. Jumlah anak-anak usia muda yang merokok meningkat dari tahun ke tahun. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat, terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok remaja usia 15-19 tahun selama lima tahun, dari 1995 hingga 2010. Pada 1995 hanya 7 persen remaja merokok, sementara pada 2010 meningkat menjadi 20 persen atau tiga kali lipat. 

Selain itu, data riset kesehatan dasar 2010 menyebutkan 42 persen atau 39 juta anak usia 0-14 tahun menjadi perokok pasif. Jumlah total perokok pasif pada tahun tersebut mencapai 92 juta orang. 

Kondisi tersebut sangat memprihatinkan lantaran bakal berdampak pada kualitas generasi mendatang. Negara terancam tidak bisa menikmati bonus demografi apabila jumlah remaja yang merokok selalu meningkat dari tahun ke tahun. 

Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Oetama Marsis mengatakan, konsumsi rokok sejak usia dini bakal berpengaruh pada reproduksi dan kualitas keturunan yang dilahirkan.

"Kalau sekarang remaja merokok, sebut usia 17 tahun, nanti kan dia akan jadi calon ibu dan bapak, bagaimana generasi berikutnya yang akan dihasilkan?" kata dia pada kesempatan yang sama.

Marsis menambahkan, banyak penelitian yang tegas menyatakan rokok mengandung setidaknya 10 zat berbahaya, di antaranya nikotin, karbonmonoksida, dan sianida. Pada ibu hamil, zat-zat tersebut bakal mengganggu perkembangan janin. 

"Nikotin mengganggu pertukaran gas dalam plasenta, karbon monoksida mengurangi kemampuan darah mengangkut oksigen, sementara sianida berbahaya bagi pertumbuhan sel," tutur Marsis. 

Editor: Citra Dyah Prastuti 

  • tembakau
  • RUU Pertembakauan
  • Rokok

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!