OPINI

Setengah Hati Presiden (Tolak) UU MD3

Unjuk rasa tolak UU MD3

Presiden Joko Widodo memastikan kalau ia belum bersedia menandatangani revisi Undang-undang MD3 yang kontroversial itu. Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD ini masih akan dikaji pasal yang dianggap bermasalah. Baginya, beleid yang disahkan pada 12 Februari tersebut cenderung mencampuradukkan urusan hukum dan politik. 

Misalnya Pasal 73 yang mengatur mekanisme permintaan pemanggilan paksa. Di situ disebut Kepolisian harus mengikuti perintah DPR untuk memanggil paksa seseorang yang menolak panggilan parlemen. Soal ini muncul ketika Pansus Hak Angket berkeras menghadirkan pimpinan KPK dalam penyelidikan kasus korupsi KTP Elektronik. Namun saat itu, Kapolri Tito Karnavian menolak mau DPR. 

Presiden memang belum mau meneken UU itu. Tapi ia sadar juga, teken atau tidak, Undang-undang otomatis berlaku 30 hari setelah diketok palu DPR. Sah. Karena itu Presiden langsung mengajak masyarakat segera melayangkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Opsi itu betul tersedia. Tapi kita juga sama-sama tahu kalau MK sekarang dipimpin Arief Hidayat yang punya rekam jejak buruk dalam beberapa putusannya. Misalnya baru-baru ini tentang pembentukan hak angket yang diajukan Pegawai KPK. Arief termasuk hakim yang setuju KPK jadi lembaga yang masuk dalam objek pelaksana hak angket DPR. Keputusan itu dikritik habis-habisan karena bertentangan dengan putusan MK sebelumnya. Ini juga mendorong akademisi dan pegiat hukum memaksa Arief mundur dari jabatannya. 

Karena itu, opsi judicial review ke MK sekarang justru mengkhawatirkan kalau bakal ada putusan yang tak adil. Ada pilihan lain yang bisa dipertimbangkan yaitu Perppu mengingat Presiden juga sadar betul kalau Undang-undang MD3 menurunkan demokrasi kita. 

 

  • revisi UU MD3
  • uji materi UU MD3
  • Presiden Jokowi
  • Arief Hidayat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!