Article Image

SAGA

Ropina Tarigan, Pengasuh Ratusan Anak dengan HIV/AIDS

Jumat 23 Feb 2018, 12.33 WIB

Ilustrasi HIV/AIDS. Foto: Sham Hardy Flickr Creative Commons.

KBR, Jakarta - Di aula sebuah sekolah swasta di Jakarta Barat, sejumlah murid sedang mengikuti kegiatan Pramuka. Kedatangan saya kesini, ingin menemui seorang siswa, Lina. Tapi itu hari rupanya, ia tak masuk sekolah; izin sakit. 

Kepala Sekolah, Farida, bercerita anak didiknya itu diterima Yayasan dengan jalan berliku. Itu karena latarbelakang kesehatannya yang mengidap HIV/AIDS.

"Memang kami awalnya tidak tahu. ketika anak ini datang dan bilang, 'Saya HIV lho'. Saya syok. Lalu ibu Vina datang. Kami saling terbuka di situ, ya sudah dia terima," kenang Farida.

Saat itu tahun 2016. Dan keputusan Yayasan menerima Lina tak lepas dari bujukan Vina Tarigan –ibu asuh Lina sekaligus pendiri Yayasan Vina Smart Era. Di situ, bidan Vina –begitu ia bisa disapa, fokus menangani kesehatan anak-anak dengan HIV/AIDS. 

Ketika itu, suara guru-guru dan pengurus yayasan terbelah; ada yang menerima Lina dan ada yang menolak. Tapi bidan Vina turun tangan dengan menjelaskan kondisi anaknya itu. Mendengar paparan bidan Vina, mereka berembuk. Keputusannya Lina diterima.

Lina saat ini duduk di Kelas 2 SMP. Semua guru di sekolah menerima keadaan siswanya itu. Mereka bahkan tak membeda-bedakan Lina dengan murid yang lain. Dia bebas mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun seperti Pramuka dan menari. 

"Oh semua diperlakukan sama. Dia istirahat, seperti biasa. Dia boleh menari, berenang. Saya pernah melarang dia ikut jurit malam. Tapi dia nolak. Saya sempat tegang," tutur Farida. 

Di keseharian, Lina justru mendapat perhatian ekstra dari guru. Farida misalnya, kerap memberikan susu sebagai tambahan asupan gizi.

Tapi PR Farida berikutnya muncul. Ia harus memastikan Lina diterima teman-teman sekelasnya. Syukurlah, Lina sosok yang supel. Teman sebangkunya sejak SMP, Karina, mengatakan kawannya itu menyenangkan. 

"Dia orangnya asyik. Kalau diajak bercanda, tidak akan marah," ucap Karina teman sebangku Lina.

Bersama kawan-kawannya yang lain, Lina juga Karina kerap belajar bersama. Kadang ke rumah anggota kelompok secara bergantian. Atau ke taman di dekat kawasan Kota Tua.

Kata Karina, orangtuanya tahu tentang kondisi Lina dan tak melarangnya berteman. 

Saya pun berkunjung ke rumah Lina di daerah Tambora. Ia mengaku tak masuk sekolah karena mengeluh pusing. Sakit seperti itu sering ia rasakan, bahkan setelah minum obat saat pagi dan malam. Pusing itu, pertama kali muncul saat dia berusia SD. Dan kian hari, selalu datang sampai membuatnya tak konsentrasi belajar.  

Karena itulah, Lina kadang absen sekolah. Dengan alasan riwayat kesehatan itu pula, bidan Vina dan Kepala Sekolah Farida selalu mengingatkannya agar langsung pulang ke rumah begitu sekolah usai.

"Pulang sekolah itu langsung pulang. Kadang mau main, tapi tidak boleh sama Kepala Sekolah. Tapi yang diizinkan cuma untuk kerja kelompok," sambungnya.

Lina anak yang cerita dan banyak tersenyum. Dengan malu-malu, dia menceritakan sekolah dan teman-temannya. Katanya, ia betah sekolah di sana karena banyak orang yang memperhatikan. 

Di Depok, Lina tinggal bersama sang nenek. Orangtuanya, sudah meninggal saat usianya SD. Perkenalan Lina dengan bidan Vina dimulai sekitar tahun 2007. Waktu itu sang paman mengenal bidan Vina di RSCM Jakarta –bersamaan dengan masa Lina dirawat. Bidan Vina lantas menawarkan diri untuk mengambil Lina sebagai anak asuh dan mengawasi pengobatannya. 

Sekarang, Karina menjadi tempat Lina berkeluh kesah. Termasuk soal pengobatan HIVnya yang memaksanya harus mengonsumsi obat setiap hari. Tapi Lina tak mau menyerah. Ia bertekad untuk terus melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi demi mewujudkan cita-cita menjadi polisi wanita.  

red

Di Stasiun Kereta Duri, Jakarta, saya janjian dengan Vina Tarigan. Dia adalah ibu asuh bagi ratusan anak-anak dengan HIV/AIDS. Dan di usianya yang ke-53, ia tampak segar dan enerjik. 

Saya lalu mengikuti aktivitas Vina yang hari itu akan mengunjungi sekolah dua anak asuhnya yang berada di Citayam, Depok. Ia hendak membayar uang sekolah mereka, sambil tentu saja memastikan anak-anaknya itu dalam kondisi sehat dan rutin mengonsumsi obat penekan pertumbuhan virus HIV.

Di antara sesaknya penumpang kereta, Vina juga bercerita tentang mimpi anak-anaknya. Baginya, tak ada yang mustahil sebab secara fisik tak ada yang membedakan mereka dengan bocah-bocah yang lain. 

 

Tiba di sekolah, saya bertemu dengan dua remaja perempuan yang diasuh Vina. Seorang di antaranya, hanya memiliki ibu. Tapi si anak justru memilih tinggal berjauhan karena ingin mandiri. Sementara yang satunya, sudah yatim piatu dan hidup bersama kakek dan neneknya. 

Nani, sang nenek, mengaku sudah kehabisan akal mendidik cucunya itu. Hingga akhirnya, ia memutuskan memindahkan cucunya ke sekolah di Tambora dan menitipkan pada Vina. 

Kata Vina, kedekatannya dengan anak-anak itu dimulai kira-kira satu dekade lalu. Ketika itu, ia bersama rekannya yang seorang guru besar dari universitas swasta di Jakarta, membuat program menghilangkan ketergantungan dari narkoba. Selain itu, ada pula program kreatif untuk mengalihkan kecanduan mereka. 

Di Tambora, Jakarta Barat lah, menjadi lokasi pertamanya menjajal eksperimen itu. Sebab di sana identik dengan sarang narkoba. Tapi tak lama, program itu diarahkan khusus kepada anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS. Dari situ, Vina rutin mengunjungi rumah sakit rujukan semisal RSCM, RS Dharmais, dan RS Persahabatan. Melalui kunjungan-kunjungan itu, anak dengan HIV/AIDS yang dirawatnya terus bertambah. Awalnya lima, jadi puluhan.

Dia lantas mendirikan Yayasan Vina Smart Era. Lewat yayasan itu, ia makin fokus memantau kesehatan anak-anak asuhnya. Tapi ada saja pandangan sinis. 

"Teman saya bidan bilang gini, 'Vin, ngapain sih kamu mengurus orang-orang seperti itu? Kamu suntik mati saja'. Saya langsung bilang, 'Bu, pernahkah ibu berpikir kalau anak ibu yang mengalami seperti ini?'," kenang Vina.

Melihat respon semacam itu, PR Vina bertambah. Ia harus menjelaskan rekannya agar mau merangkul orang dengan HIV/AIDS, terutama ibu hamil. Ini agar anak mereka tak ikut terinfeksi. 

Vina juga bercerita, anak dengan HIV/AIDS biasanya mengalami persoalan dengan keluarga. Karena sudah yatim piatu, mereka diasuh kerabat. Dan agar kesehatan mereka tetap terpantau, Vina memilih memboyongnya ke rumahnya tiap Senin-Jumat. Di hari libur, dipersilakan pulang. 

Dalam hitungannya, sudah lebih dari seratusan anak dengan HIV/AIDS yang diasuh. Mereka tersebar di seluruh Jakarta. Semasa asuhannya pula, ia rajin memberi pengetahun tentang apa itu HIV. 

 

Salah seorang anak, Lina, mengaku sangat menyayangi Vina. Ia selalu dinasihati agar bertahan dengan berbagai pengobatannya. Meski begitu, Lina kadang menyerah. Apalagi, rasa pusing hampir tiap hari mendera. Bersama teman sesama pengidap HIV, Lina berkeluh-kesah.

"Saya ingin buru-buru sembuh. Enggak enak setiap minum obat. Saya kadang-kadang nangis di kamar," ucap Lina sedih. 

Kembali ke Vina. Ia berharap ada obat yang bisa menyembuhkan anak-anaknya. 

"Mereka harus minum obat itu, sampai saat ini. Saya berharap dalam waktu dekat bisa ditemukan obat membunuh virus HIV. Tetapi kalau mereka minum itu dengan baik, teratur, mereka tidak ada bedanya dengan kita, anak-anak kita," harap Vina. 

	<td>Dian Kurniati&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: