OPINI

Kesetaraan

Memasang lampion menyambut Imlek
Pekerja memasang lampion di Vihara Avalokitesvara sebagai persiapan menyambut Imlek 2569, di Kasemen, Serang, Banten. (Foto: Antara/Asep Fathulrahman)

Kesetaraan mungkin dulu hanya impian bagi kelompok Tionghoa. Selama berpuluh tahun mereka ditekan, tak bisa mengekspresikan kebudayaan mereka serta mendapat diskriminasi di berbagai aspek kehidupan. Tekanan demi tekanan terjadi meski kita percaya bahwa kemerdekaan adalah hak semua orang. 

Gus Dur lah yang membalik keadaan. Bekas presiden Indonesia ini mencabut berbagai aturan yang mengekang dan menekan kelompok Tionghoa. Inpres No 14/1967 dicabut, isinya melarang semua kegiatan terkait keagamaan, kepercayaan serta adat istiadat Cina. Selanjutnya ia mengeluarkan Keppres No 6/2000 yang membolehkan teman-teman Tionghoa kita untuk mengekspresikan kebudayaan mereka. 

Tonggak-tonggak toleransi itu yang mesti terus dijaga. Sebab ancaman terus mengintai. Dulu, tekanan muncul lewat berbagai aturan dan ganjalan bagi kelompok Tionghoa. Sekarang, ancaman datang dari sentimen-sentimen SARA yang dipolitisir. Mei 98 jadi saksi bagaimana teman-teman kita jadi korban, ketakutan meski ada di tanah airnya sendiri. Sementara Pilkada Jakarta jadi pengingat bagaimana luka lama bisa dengan mudah terbuka kembali. 

Batas antarkelompok semestinya dilebur, bukan dipertebal atau ditinggikan. Budaya, tradisi, kebiasaan yang berbeda antarkelompok adalah suatu kekayaan yang mesti dirayakan. Kesetaraan adalah hak yang harus dijamin negara. Sementara kita, publik, mesti membuka pikiran seluas mungkin untuk perbedaan. 

 

  • Gus Dur
  • Keppress No 6/2000
  • adat istiadat cina
  • kesetaraan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!